Letusan Dahsyat Krakatau Tahun 1883 dalam Kitab Raja Purwa

Letusan gunung Krakatau pada tahun 1883, begitu dahsyat. Menimbulkan gelombang mega tsunami yang membunuh hampir 30 ribu jiwa penduduk yang berada di sekitar selat sunda. Selain itu, letusan ini juga menyebabkan turunnya temperatur bumi secara tiba – tiba sebesar 1 derajat celcius. Selama lima tahun setelah letusan, iklim di bumi diketahui menjadi kacau dan tidak menentu.

Kengerian itu digambarkan oleh Muhammad Saleh dalam Syair Lampung Karam, satu-satunya laporan pandangan mata yang dibuat pribumi tentang letusan Krakatau.

Muhammad Saleh lewat bait syairnya menggambarkan di atas langit terlihat seperti bunga api beterbangan seperti bahala yang diturunkan Tuhan dan membuat hati takut bukan kepalang. Kegelapan menyelimuti, guncangan gempa tiada henti, dan datang gelombang menghanyutkan.

“….Di dalam hal demikian peri, Berbunyi meriam tiga kali, Kerasnya itu tidak terperi, Bertambah gentar seisi negeri. Isi negeri sangat ketakutan, Kerasnya bunyinya tiada tertahan, Turunlah angin sertanya hujan, Mengadang mata umat sekalian Banyaklah lari membawa hartanya, Di dalam perahu, sampan, koleknya, Dipukul gelombang hilang dianya Harta, perahu, habis semuanya…”

Setidaknya letusan itulah yang paling dahsyat yang sudah begitu banyak diteliti. Sementara sebelum itu, masih menyisakan misteri, mengenai letusan sebelumnya yang berada pada siklus aktivitas gunung Krakatau.

Meski demikian, Ronggowarsito, seorang pujangga jawa dari Kesultanan Surakarta, sempat meneceritakan lewat karya sastranya bahwa sebelum letusan itu, sempat terjadi pula letusan Krakatau yang tak kalah dahsyatnya. Karya sastra ini diketahui diterbitkan pada tahun 1869 atau 14 tahun sebelum letusan dahsyat Krakatau pada tahun 1883.

Berikut cuplikan terjemahan karya sastra Ronggowarsito yang menggambarkan betapa dahsyatnya letusan tersebut :

“..Di tahun saka 338, sebuah bunyi menggelegar terdengar dari gunung batuwara yang dijawab dengan suara serupa yang datang dari gunung kapi yang terletak di sebelah barat banten baru..”

“Seluruh dunia terguncang hebat dan Guntur menggelegar, diikuti hujan lebat dan badai. Tetapi hujan itu bukannya mematikan ledakan api gunung kapi, melainkan semakin mengobarkannya, suara mengerikan, akhirnya gunung kapi dengan suara dahsyat meledak berkeping – keeping dan tenggelam ke bagian terdalam dari bumi”

“…kemudian air laut naik dan membanjiri daratan, negeri di timur gunung batuwara sampai gunung rajabasa dibanjiri oleh air laut, penduduk bagian utara negeri sunda sampai gunung rajabasa tenggelam dan hanyut beserta semua harta milik mereka”

Belum dipastikan apakah tulisan itu menjadi ramalan pada letusan tahun 1883 atau bukan. Namun, kejadian letusan seperti yang digambarkan dalam syair tersebut, disangsikan sejumlah pihak terutama pada bagian angka tahunnya.

Peta Terakhir Jelang Letusan Dahsyat Krakatau

Setelah 200 tahun tertidur, pada 19 Mei 1883, Batavia (Jakarta) dikejutkan dengan dentuman keras, melebihi bunyi meriam terkeras. Kaca-kaca jendela bergetar hebat bahkan jam dinding berhenti berdetak karena sapuan gelombang kejut. Abu dan batu apung berjatuhan di Selat Sunda, menggiring orang untuk melongok ke puncak Perbuatan, salah satu puncak di pulau gunung api Krakatau, yang tiba-tiba meletus.

Namun, setelah kegaduhan itu, Krakatau kembali tenang. Pulau dengan tiga kawah itu tidur tenang, dikitari laut biru yang dalam. Setelah hari keempat berlalu dengan damai, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Frederik s’Jacob menyimpulkan saat yang bagus untuk melihat Krakatau dari dekat, melihat apa yang terjadi, dan yang lebih penting lagi: untuk menyimpulkan apakah kejadian serupa bisa terulang kembali. Dia mengutus insinyur pertambangan, AL Schuurman, pergi ke sana.

Berbeda dengan kekhawatiran s’Jacob, perusahaan pelayaran The Netherlands Indies Steamship Company melihat Krakatau sebagai potensi besar untuk mendatangkan turis sehingga dengan sigap menyodorkan kapal wisata, Gouverneur-Generaal Loudon.

“Pada Sabtu, 26 Mei, perwakilan perusahaan menempelkan pengumuman di klub Harmonie dan Concordia, mengiklankan ‘wisata menyenangkan’ dan mengumumkan harga yang kompetitif sebesar hanya 25 guilder,” tulis Winchester.

Pada Minggu sore, kapal uap berbobot mati 1.239 ton itu terisi penuh dengan 86 penumpang dan Schuurman berada di antara mereka sebagai wakil dari pemerintah. Setelah berlayar semalaman, kapten Loudon, TH Lindeman, membuang sauh jauh dari pulau itu. Dia meminjamkan perahu kepada Schuurman. Ditemani beberapa orang yang berani dan penuh rasa ingin tahu, Schuurman mendekati pulau dengan susah payah.

“Dengan mengikuti jejak orang yang paling berani atau mungkin yang paling tolol, kami mendaki lebih jauh tanpa halangan apa pun selain abu yang ambles di bawah kaki kami. Jalannya berada di atas bukit dari mana kami bisa melihat beberapa pokok pohon yang patah mencuat dari lapisan abu, beberapa tonggak menunjukkan bahwa cabang-cabangnya direnggut dengan paksa,” tulis Schuurman.

Kelompok kecil ini terus merangsek naik dengan nekad hingga mendekati dasar kawah, yang menurut Schuurman tertutup oleh “kerak buram berkilat-kilat,” yang kadang-kadang membara merah dan mengeluarkan ”gulungan asap dalam gelembung-gelembung raksasa yang banyak tetapi rapat”. Schuurman akhirnya kembali ke Loudon setelah Lindeman berkali-kali membunyikan klakson.

Dua bulan kemudian Krakatau berangsur dilupakan. Hingga pada 11 Agustus, kapten angkatan darat Belanda, HJG Ferzenaar, diperintahkan menyurvei Krakatau untuk kepentingan topografi militer. Dia melewatkan dua hari di sana dan mencatat ada 14 lubang semburan di atas pulau itu. Ia membuat peta pulau itu secara detial, termasuk titik-titik berwarna merah yang menjadi pusat semburan.

Dia memberi catatan bahwa survei yang lebih rinci “harus menunggu sampai nanti, sebab pengukuran di sana masih sangat berbahaya; setidaknya, saya tidak akan suka menerima tanggung jawab mengirimkan seorang surveyor.”

Namun, Krakatau tidak pernah bisa dipetakan lagi. Pada 27 Agustus 1883, pulau ini meledak dan hancur berkeping-keping. Peta Pulau Krakatau yang dibuat Ferzenaar adalah yang terakhir yang pernah dibuat.

Ledakan berkekuatan 21.574 kali bom atom (De Neve, 1984) itu tak hanya menghancurkan tubuh Pulau Krakatau. Kehancuran juga melanda pesisir Banten dan Lampung. Gelombang awan panas dan tsunami melanda, menghancurkan desa-desa di pesisir Banten dan Lampung, serta menewaskan lebih dari 36.000 jiwa.

Petaka Krakatau itu menambah derita rakyat yang beratus tahun disengsarakan ekonomi kolonial dan priyayi pribumi yang mengisap. “Tak disangsikan lagi bahwa wabah penyakit ternak dan wabah demam, serta kelaparan yang diakibatkannya, dan letusan Gunung Krakatau yang menyusul, telah menjadi pukulan hebat bagi penduduk,” tulis Sartono Kartodirdjo, dalam buku Pemberontakan Petani di Banten 1888.

Menurut sejarawan terkemuka ini, “… letusan Gunung Krakatau menyebabkan luas tanah yang tidak dapat digarap menjadi lebih besar lagi, terutama di bagian barat afdeling Caringin dan Anyer.” Kondisi kesengsaraan yang kemudian bertemu dengan gerakan sosial-keagamaan ini menjadi pemantik kesadaran rakyat untuk melawan Belanda, yang dianggap sebagai pendosa dan biang dari segala kesengsaraan itu.

Dua bulan setelah letusan Krakatau, kerusuhan pecah di Serang. Seorang serdadu Belanda ditikam, pelakunya kabur di tengah keramaian. Kejadian berulang sebulan kemudian. Serentetan perlawanan terhadap Belanda terus dilakukan hingga pada Juli 1888 muncullah pemberontakan petani Banten.

Ada Komet Melintas Ketika Krakatau Meletus

Hal menarik lainnya seputar letusan Krakatau yakni informasi yang berasal dari para ilmuwan dan para astronomer sangat yakin bahwa sebuah komet sedang mendekat dengan Bumi pada tahun yang sama disaat gunung Krakatau meletus. Perlu diingat bahwa ini komet dan jauh lebih besar, bukan asteroid.

Menurut Bronilla, salah satu astronomer dari Meksiko menyatakan, berat komet adalah jutaan ton, dan berjarak hanya 600 – 8000 kilometer saja dari permukaan Bumi.

Dan berukuran lebar sekitar 50 kilometer dengan panjang hingga 800 kilometer!

Para ilmuwan percaya bahwa komet sebesar tersebut sama dengan ukuran komet yang memusnahkan dinosaurus puluhan juta tahun yang lalu, yaitu seberat delapan kali dari komet Halley.

Sebagai bukti adalah ketika foto komet diambil pada 1883, sempat digembar-gemborkan sebagai bukti fotografi pertama UFO.

Namun para ilmuwan dari Universitas Nasional Meksiko kini meyakini bahwa kemungkinan benda ini adalah komet raksasa yang nyaris menabrak bumi dengan kekuatan yang sama besar dengan obyek pemusnah dinosaurus.

Astronom Meksiko, Jose Banilla yang telah mengambil gambar ini telah memaparkan adanya sesuatu yang melintas di depan matahari pada 12 Agustus 1883.

Ketika dirilis ke publik pada 1886 di Majalah L’Astronomie, benda yang terlihat dalam foto tersebut disebut sebagai foto pertama UFO.

Sebuah studi yang telah dilakukan oleh Universitas Nasional Meksiko menunjukkan bahwa benda itu adalah sebuah komet yang sedang dalam proses penghancuran.

“Menurut hipotesa kerja kami, apa yang telah diamati Bonilla pada 1883 adalah sebuah komet yang telah terfragmentasi saat sedang mendekati permukaan bumi,” tulis Hector Javier Durand Manterola, penulis laporan tersebut.

“Dengan menggunakan hasil yang dilaporkan Bonilla, kita dapat memperkirakan jarak obyek yang mendekati permukaan bumi tersebut.” “Menurut perhitungan kami, jarak obyek yang melintas itu antara 532 km dan 8.062 km sedangkan lebarnya antara 46m dan 795m.”

Massa utuh komet tersebut kemungkinan mencapai delapan kali massa komet Halley. Tempo yang dibutuhkan obyek itu untuk melintasi matahari kalau dikombinasikan dengan lokasi observatorium Bonilla, menurut perhitungan jarak obyek itu paling jauh sekitar 8.000 km.

Para ilmuwan meyakini bahwa komet itu memiliki massa yang sama dengan obyek yang telah memusnahkan dinosaurus atau delapan kali komet Halley.

Sumber : 1 dan 2 / Foto : 1

Leave a comment